Pemblokiran Internet dan Landainya Aktivitas Ekonomi di Papua

TEMPO.CO, Jakarta - Aktivitas perekonomian di Papua dan Papua Barat ikut melandai seiring dengan berbagai peristiwa di dua provinsi di timur Indonesia itu. Sudah lebih dari sepekan pemerintah memblokir akses internet di sana dengan dalih mencegah penyebaran berita bohong alias hoaks. Di saat yang sama, massa di berbagai wilayah juga menggelar aksi protes kepada pemerintah terkait dengan aksi rasisme kepada masyarakat Papua di Surabaya.
Salah satu sektor yang terdampak adalah bisnis perhotelan. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel Restoran Indonesia atau DPD PHRI Papua Syahril berujar sektor yang digelutinya sangat terdampak kebijakan pemerintah tersebut. "Dampaknya besar terhadap hotel," ujar Syahril melalui pesan singkat kepada Tempo, Kamis, 29 Agustus 2019.
Tempo berhasil menghubungi Syahril melalui layanan pesan singkat non-internet atau sms. Pasalnya, Syahril mengatakan akses internet di sana memang sangat terbatas. Masyarakat hanya bisa tersambung dengan internet bila menggunakan internet berlangganan dan bukan layanan provider biasa. Internet juga masih bisa diakses di hotel-hotel berbintang.
Berdasarkan catatan Syahril, penurunan jumlah pesanan hotel akibat hilangnya akses internet itu bisa mencapai 40 persen dibanding kondisi normal. Penurunan terjadi diduga lantaran para calon pengunjung tidak bisa melakukan pemesanan menggunakan platform online. Ia pun berujar anjloknya tingkat hunian juga disebabkan masih adanya aksi massa, khususnya di Jayapura.
Persoalan perekonomian akibat blokir internet sempat diangkat oleh Direktur Eksekutif South East Asia Freedom of Expression Network atau SAFENet Damar Juniarto melalui akun media sosialnya. Ia mengatakan berbagai layanan masyarakat berbasis online ikut mati seiring dengan diblokirnya internet. Layanan itu misalnya saja Badan Penyedia Jaminan Sosial online hingga ojek online.
Karena itu, Damar pun melayangkan surat somasi kedua serta petisi yang ditandatangani lebih dari 11.000 orang kepada Kementerian Komunikasi dan pada Senin, 26 Agustus. SAFENet memang terus mendesak Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara agar membuka blokir internet tersebut. "Kami minta #NyalakanLagi internet di Papua dan Papua Barat agar kegelapan sirna di sana," kata koordinator regional SAFEnet Damar Juniarto dalam keterangan tertulis Selasa, 27 Agustus 2019.
Berbeda dengan bisnis perhotelan dan layanan berbasis internet, Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita mengatakan bisnis logistik tidak begitu terdampak kebijakan pemblokiran internet tersebut. Buktinya, volume lalu lintas logistik dalam sepekan ke belakang memang belum beitu tampak. "Trafik belum ada penurunan sih, masih normal dan volume logistik di Papua kan masih sangat kecil," ujar dia. Adapun titik dengan aktivitas logistik terbanyak di Papua antara lain adalah Sorong dan Jayapura.
Di samping itu, Zaldy berujar para pelaku usaha logistik di sana memang sudah terbiasa dengan kondisi internet yang kurang stabil selama ini. Sehingga, mereka pun sudah memiliki rencana cadangan. "Karena dari dulu sudah sering mati hidup internet dan listrik di Papua, jadi sudah biasa," tutur Zaldy.
Walau demikian, ia tidak memungkiri bahwa saat ini bisnis logistik memang sudah banyak bergantung kepada keberadaan akses internet. Selama internet padam, Zaldy mengatakan aktivitas logistik beralih ke metode manual. "Selain menggunakan sambungan telepon biasa, kami menggunakan dokumen hardcopy," tuturnya.
Sebelumnya, Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan menerima banyak protes dari kalangan pengusaha terkait pembatasan akses internet di sana. Ia hanya bisa pasrah dengan kebijakan pemerintah pusat ini. "Banyak keluhan. Makanya kami harap semua sisi informasi bisa dibuka," katanya di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019. Lukas menuturkan situasi di Papua pada umumnya sudah kondusif. Jika muncul keributan dari mahasiswa, ia mengklaim aparat di sana sudah biasa menghadapinya.
Presiden Joko Widodo mendengarkan penjelasan Gubernur Papua Lukas Enembe (kiri) tentang banjir bandang Sentani sebelum menyaksikan penandatanganan nota kesepakatan pemulihan kawasan cagar alam Pegunungan Cycloop, Danau Sentani dan daerah aliran Sungai Sentani Tami di Jayapura, Papua, Senin 1 April 2019. Nota kesepakatan itu untuk mensinergikan penanganan pemulihan kawasan-kawasan tersebut pasca banjir bandang. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Ihwal persoalan itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan pihaknya belum tahu sampai kapan harus membatasi akses internet di Papua. Alasannya hingga kini pihaknya menemukan lebih dari 230 ribu Uniform Resource Locator atau URL yang memviralkan hoaks terkait insiden di Papua. Ia menuturkan hoaks paling banyak ditemui di Twitter. Adapun isinya beraneka rupa. "Ada berita bohong, menghasut, yang paling parah mengadu domba," katanya.
Jika ditelusuri, kata dia, lokasi penyebar konten-konten hoaks ini bermacam-macam, tidak hanya dari Papua. Kami melihatnya di dunia maya. Bahwa itu dari Papua, manapun di seluruh dunia, kami bisa tangkap. Itu 230 ribu lebih," ucapnya. Rudiantara berharap kondisi keamanan di Papua segera kondusif sehingga kementeriannya bisa segera mengembalikan akses internet di sana seperti sedia kala. Ia pun meminta maaf kepada seluruh pihak yang terdampak dari kebijakan ini.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan keputusan memulihkan akses internet di Papua tidak bisa diambil oleh Kementerian Kominfo saja. Sebab, kata Semuel, keputusan untuk mencabut pelambatan dan pemblokiran akses internet menjadi kewenangan institusi keamanan.
Adapun Ekonom Didik Rachbini mengatakan secara perekonomian kontribusi Papua dalam perekonomian nasional hanya memang hanya lima persen. Namun, dua wilayah tersebut dinilai sebagai sumber daya ekonomi Indonesia di masa depan. Sehingga, secara ekonomi, Papua tetap penting dan merupakan bagian terintegrasi nasional yang tidak terpisahkan dari NKRI.
Belum lagi, pemerintah sebenarnya sudah merencanakan pembangunan Papua selama lima tahun ke arah Maritim sebagai penggerak perekonomian nasional. Adapun pusat pembangunan ekonomi maritim, antara lain direncanakan pada pelabuhan perikanan Tual, Ternate dan Ambon.
Artinya, kata Didik, perhatian pemerintah secara ekonomi politik sebenarnya sudah cukup memadai. Salah satunya adalah dengan pemberian otonomi khusus dan dana otonomi khusus yang jauh lebih besar untuk setiap warga masyarakat. Tetapi, ia menilai upaya mensejahterakan ekonomi melalui dana otonomi khusus ini belum membuahkan hasil yang maksimal.
"Ini dijadikan isu Papua Merdeka oleh para aktivisnya," ujar dia. "Solusi bagi papua adalah pendekatan kesejahteraan, sementara pendekatan keamanan mestinya diambil untuk mendukung pendekatan kesejahteraan tersebut."
Dalam lain kesempatan, Anggota Ombudsman RI Alvin Lie juga menyoroti kebijakan pemblokiran internet tersebut. Ia mengatakan pemerintah berpotensi melakukan maladministrasi dan penyalahgunaan kekuasaan dalam pemblokiran tersebut.
"Belum adanya peraturan berpotensi terjadinya maladministrasi dan penyalahgunaan kekuasaan dalam menggunakan pembatasan akses internet sehingga merugikan masyarakat," kata Alvin Lie melalui sambungan telepon kepada Tempo, Minggu, 25 Agustus 2019. Ia menjelaskan hal yang disebut maladministrasi adalah bila menggunakan kewenangan untuk tujuan lain daripada yang semestinya, atau berbuat melampaui kewenangan dan berbuat sewenang-wenang.
Alvin mengatakan saat ini belum ada peraturan baku setidaknya untuk lima hal berkaitan dengan pemblokiran tersebut. Misalnya saja peraturan baku soal syarat kondisi darurat dimana pembatasan akses internet boleh dilakukan atau pemblokiran internet. Di samping itu juga belum ada beleid soal mekanisme penetapan kondisi darurat dan siapa pihak yang berhak menetapkan.
CAESAR AKBAR | AHMAD FAIZ | DIAS PRASONGKO
Sumber:Tempo.co
Share:

Recent Posts